Friday, 19-04-2024 10:19:37 pm
Home » Sejarah » 40 Pejuang Terbaik Kompi Gagak Lodra Gugur di Kali Jahe

40 Pejuang Terbaik Kompi Gagak Lodra Gugur di Kali Jahe

(1589 Views) May 31, 2018 3:23 am | Published by | No comment

Suarapatinews. Sejarah – Sebagai bagian dari Wingate Action, Kompi Sabar Sutopo yang lebih dikenal sebagai Kompi Gagak Lodra, mendapat tugas untuk membuka jalan bagi Batalyon Samsul Islam yang akan masuk dan bergerilya di daerah Pasuruan dan Batalyon Abdul Syarif yang akan masuk dan bergerilya di daerah Probolinggo.

Tugas ini hampir bersamaan dengan Belanda mengadakan Agresi Militer II tanggal 19 Desember 1948.



Pada saat itu, seksi-seksi yang mengadakan pertahanan sepanjang Wajak-Bululawang diserang secara besar-besaran oleh Belanda.

Kemudian, komando kompi dan pasukan cadangan yang berada di Garotan bersiap-siap untuk gerilya.

Dalam waktu singkat dan cepat, pasukan sudah harus mencapai sasaran dengan menduduki daerah dekat perbatasan (status quo) sebelumpasukan Belanda sempat mengadakan konsolidasi dan beristirahat.

Pada tanggal 20 Desember 1948, Kompi Gagak Lodra segera bergerak untuk bergerilya ke jurusan Desa Bambang, Wajak. Di samping itu, juga menuju Desa Garotan.

Selanjutnya, Seksi Soeseno ditugaskan untuk bertahan di Wajak, di samping itu, mereka juga menuju ke Desa Garotan, selanjutnya, Seksi Soetomo ditugaskan untuk bertahan di Wajak utara untuk menghadang dan menghambat musuh yang mungkin bergerak ke selatan memasuki daerah Garotan dan sekitarnya.

Setelah mengadakan gerak penghambatan, Seksi Soetomo harus segera kembali ke induk pasukan di Bambang.

Tentang kejadian pada tanggal 19 Desember 1948 dapat dikemukakan oleh Sunari HS, salah seorang anggota pasukan Gagak Lodra sebagai berikut. Sekitar pukul 05.00, pasukan mulai melakukan penyerangan ke selatan.

Akibatnya, pertempuran segera terjadi di mana-mana, tembakan berbagai macam senjata disusul ledakan-ledakan dahsyat menggema di pagi itu.

Di daerah Wajak dan Turen, pasukan kami terus bertempur di sepanjang garis pertahanan untuk menghambat gerakan pasukan Belanda, tujuannya supaya pasukan kami di garis belakang dapat memindahkan amunisi dan perbekalan untuk dibawa masuk ke daerah gerilya dan hutan-hutan.

Pasukan Seksi Soeseno, setelah mengalami pertempuran dalam gerak penghambatan yang dilakukan, pada siang harinya, datang induk pasukan dan melaporkan bahwa pasukan Belanda mulai masuk ke daerah Republik.

Karena daerah Wajak sulit dipertahankan maka semua pasukan diperintahkan cepat-cepat masuk ke daerah perbatasan garis
status quo di hutan Wonosari.

Sebelum masuk hutan Wonosari, terlebih dahulu mereka membuka jalan dari Garotan menuju Bambang.
Setelah dari hutan Wonosari kami berkumpul di Jajang.

Selanjutnya pasukan diperintahkan untuk membuka jalan ke Pasuruan dan Probolinggo, sebagai langkah awal menuju Desa Pandansari. Seluruh kekuatan pasukan bergerak menuju Pandansari, pada sekitar pukul 07.00, pasukan kawal depan, yaitu Seksi Sarim dengan persenjataan yang lengkap dan amunisi cukup, bertemu dengan patroli Belanda yang diperkirakan berkekuatan dua regu bersenjata lengkap berasal dari pos Poncokusumo.

Akibatnya, langsung terjadi kontak senjata dengan seru, dalam pertempuran tersebut, terdengar berondongan senapan mesin diselingi ledakan mortir dan granat.

Pasukan Belanda yang hanya terdiri dari dua regu tersebut menjadi bulan-bulanan pasukan kami, mayat-mayat dari pasukan Belanda bergelimpangan dan darah pun berceceran di sana sini.

Dari pasukan Belanda hanya tersisa dua orang, salah seorang dari mereka, komandan patroli, dalam keadaan terluka tertatih-tatih mencoba melintas jembatan, tanpa menunggu waktu lagi, ia pun menemui ajalnya setelah menerima beberapa butir peluru Thomson, sedangkan seorang serdadu lainnya tidak ditemukan.

Setelah berhasil memenangkan pertempuran di Pandansari, pasukan kami membuka jalan dengan bergerak menuju Gubugklakah, sesampainya di sana, hari telah larut malam, di desa ini, didapatkan informasi bahwa Belanda telah mendirikan pos pengawasan di Dukuh Tosari.

Esok harinya pos tersebut kami serang dan dapat kami hancurkan. Sepucuk pistol dan beberapa pucuk senapan berhasil kami rampas.

Pada tanggal 22 Desember 1948, sekitar pukul 05.00, pihak Belanda mengadakan serangan balasan terhadap pasukan kami dengan mengarahkan kekuatan sekitar dua kompi bersenjata lengkap dibantu oleh pesawat udara dan mobil lapis baja.

Dalam pertempuran yang berjalan cukup lama itu, pasukan kami menderita beberapa korban dan luka berat serta kerugian senapan mesin 7.7 mm, setelah pertempuran, pasukan diperintahkan bergerak ke timur menuju Jabung.

Tetapi karena ada pertahanan yang kuat dari Belanda dalam perjalanan ke Pasuruan, kami kembali dan sampai di Kalijahe di Tumpang, rencana selanjutnya adalah mengadakan konsolidasi dan memasuki Malang.

Selama dua hari, pasukan kami tidak makan. Untuk itu, kami diperintahkan mencari makanan di sekitar desa terdekat, pada pukul 12.00, berturut-turut pasukan masuk ke hutan Kalijahe dengan berjalan kaki di sepanjang lembah-lembah agar terlindung dari intaian pesawat udara.

Ternyata, pasukan Belanda telah menduduki bukit-bukit di atas lembah, dengan tidak disangka-sangka, pasukan kami yang berjalan di lembah diberondong dengan senapan otomatis dan granat, sehingga terjadilah pertempuran yang sangat hebat dan berat sebelah.

Pada saat pertempuran, hujan turun disertai kabut sehingga posisi pasukan kami makin sulit karena lawan tidak nampak, sedangkan pihak Belanda makin gencar memuntahkan tembakan kepada kami.

Korban mengerikan bergelimpangan di berbagai tempat. Banyak yang gugur (sekitar 40 pasukan), di antaranya dua kadet calon perwira, yaitu Kadet Soebandi dan Kadet Soemarto.

Di samping itu, terdapat banyak pasukan yang luka-luka, sebagian pasukan meloloskan diri lewat sungai menuju perkampungan penduduk, kekuatan masih sekitar 75-100 orang, kemudian sebagian ditugaskan ke Probolinggo dan sebagian yang lain ke detasemen Pasuruan.

Para prajurit yang gugur oleh penduduk dimakamkan di lereng-lereng Gunung Kalijahe, sedangkan yang luka-luka sebagian dirawat penduduk dan sebagian yang lain ditawan Belanda lalu dibawa ke rumah sakit di Malang.

Adapun yang masih hidup dan luka ringan saling mencari teman-temannya agar berkumpul kembali.

Pertempuran besar di Kalijahe yang meminta banyak korban pada pasukan kami itu, juga membawa banyak hikmah, sebab pasukan Abdul Syarif dan pasukan Samsul Islam dari Jajang berhasil melewati Tosari.

Kemudian masing-masing menuju Probolinggo dan Pasuruan, keberhasilan tersebut karena pasukan Belanda terfokus di Kalijahe menghadapi pasukan Sabar Sutopo.

Ini merupakan keberhasilan dari kepentingan strategis masuknya Kompi Gagak Lodra memandu berbagai pasukan yang akan melakukan Wingate Action menuju ke arah timur.

Kompi Gagak Lodra yang boleh dikatakan hancur dalam pertempuran di Kalijahe ternyata kemudian dapat dibangun kembali, bahkan dengan kekuatan yang berlipat ganda.

Setelah pertempuran di Kalijahe, pasukan yang tersisa berkumpul kembali di Garotan, berkat konsolidasi yang dilakukan secara terus menerus selama tiga bulan, ditambah lagi dengan kedatangan pasukan Letnan Soemodiharjo (yang terkenal sebagai pasukan penangkis serangan udara), Kompi Sabar Sutopo kembali dapat dibangun.

Pasukan Letnan Soemodiharjo membawa banyak senjata berat yang terdiri dari senapan mesin 12.7, 13.2, mortir 8 dan beberapa pucuk senjata ringan.

Dengan kekuatan utuh tersebut, Kompi Gagak Lodra mampu mempertahankan daerah Garotan dan sekitarnya (kecamatan Wajak), bahkan berulang-ulang mereka melakukan serangan ke pos-pos Belanda di Wajak, Codo, dan Turen.

Beberapa kali pasukan Belanda mencoba menyusup ke daerah basis gerilya tetapi kami gagalkan karena kerjasama antara tentara dan rakyat yang terjalin erat, sehingga gerak langkah Belanda selalu diawasi terus dan dilaporkan ke markas gerilya.

Nb :

Dan tahun lalu Tentara Nasional Indonesia (TNI) melakukan pemindahan makam para pahlawan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kali Jahe yang ada di Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Minggu tgl (16/07/2017).

TMP Kali Jahe merupakan lokasi pemakaman sekitar 50 pejuang yang gugur dalam serangan saat Agresi Militer Belanda II tahun 1948.

Proses ‘relokasi’ ini diawali dengan upacara pemindahan makam.

Bertindak selaku Inspektur Upacara yaitu Kepala Pembinaan Mental Kodam V/Brawijaya, Kolonel Drs. H. Moch. Rifa’i, sedangkan yang bertindak sebagai komandan upacara adalah Kapten Arh Sutrisno.

Upacara pemindahan makam diikuti Satu SSK Yonif 502, Satu SST Kodim 0818, Satu SST Banser, Satu SST prangkat Desa dan 100 orang masyasrakat.

“Kita bersama-sama mengatarkan jenazah pahlawan tak dikenal ini ke tempat peristirahatannya yang terakhir,” kata Kabintaldam V Brawijaya Kolonel Moch. Rifa’i dalam sambuatanya.

Menurutnya, TNI merasa kehilangan atas gugurnya putra-putra terbaik bangsa ini. “Semoga arwah almarhum dapat di terima di sisi Tuhan Yang Maha Esa. Bagi keluarga yang ditinggalkan dan kita yang hadir di Taman Makam Pahlawan Kali Jahe ini semoga di berikan kekuatan imam, keselamatan dan kesehatan untuk dapat melanjutkan perjuangan almarhum demi bangsa dan negara,” tuturnya.

Disampaikan Kolonel Rifa’i, upacara proses pemindahan makam memiliki arti penting, yaitu sebagai penghormatan kepada para pahlawan yang telah mendarmabhaktikan jiwa raganya untuk nusa dan bangsa.

“Ini juga sebagai bukti kebesaran bangsa Indonesia karena bangsa yang besar adalah bangsa menghargai jasa para pahlawannya, mendoakan arwah para pahlawan dan merefleksikan apa yang telah kita berikan untuk mengisi kemerdekaan ini. Moment ini mengingatkan kepada kita bahwa kita harus bisa memberikan yang terbaik bagi masyarakat Bangsa dan Negara,” jelasnya.

TMP Kali Jahe lokasinya berada tidak jauh dari Wisata Coban Jahe.

Menurut sejarah, TMP Kali Jahe berdiri setelah terjadi pertempuran berdarah antara sekelompok pejuang kemerdekaan RI dengan tentara Belanda di era agresi militer Belanda II tahun 1948.

Saat itu, sekitar 40 orang pejuang tengah melakukan perjalanan dari Wajak menuju Nongkojajar, mendekati siang hari, para pejuang tersebut beristirahat di sekitar jurang di Dusun Begawan Desa Pandansari Lor Kecamatan Jabung.

Posisinya yang tersembunyi di cekungan dianggap menjadi tempat strategis untuk melepas lelah sembari menunggu kiriman logistik, sayangnya, belum sempat bantuan tiba, pasukan Belanda yang bermarkas di Taji tiba-tiba melakukan penyerangan.

Belakangan, serangan tersebut dilakukan setelah Belanda mendapatkan informasi dari warga sekitar yang mengatakan terdapat sekelompok pejuang yang akan melintas.

Berdasarkan saksi mata, serangan yang tak terduga tersebut berlangsung selama 5 jam, mulai dari pukul 11.00 WIB hingga 16.00 WIB.

“Belanda berada pada posisi strategis untuk menyerang, mereka berada di atas,sementara pejuang terjebak di bawah sehingga mudah ditembaki. Apalagi tempatnya tersembunyi dan tidak ada jalan untuk melarikan diri,” cerita Ahmadul Basori, Ketua Ikatan Pemuda Pecinta Alam Begawan Abiyasa (IPPASA).

Basori mengatakan, sejak kejadian tersebut, kawasan itu kemudian dikenal nama Kali Jahe.

Disebut Kali kareba lokasinya ada di sekitar sungai, sedangkan Jahe berasal dari kata pejahe, yang artinya ‘matinya’ atau ‘meninggalnya’.

“Jadi Jahe itu bukan tanaman jahe,tapi pejahe yang berarti meninggal,” terang dia.

Basori menambahkan, pasca kejadian, aliran Kali Jahe warnanya berubah menjadi merah karena bercampur dengan darah pejuang.

Ada warga lokal bernama mbah Dasiah yang melakukan evakuasi pejuang. Kepada Basori, mbah Dasiah menceritakan proses evakuasi baru dilakukan seminggu setelah pertempuran berlangsung.

Tidak ada yang berani melakukan evakuasi setelah kejadian, warga baru berani mendatangi lokasi penyerangan seminggu setelah kejadian.

Yang membuat trenyuh adalah, di saku mereka ditemukan bahan-bahan makanan untuk survival, ada babal (nangka muda), jagung mentah dan pisang muda, ini menegaskan bahwa mereka memang benar-benar pejuang yang sedang survive,” urai Basori.

Ia menambahkan, peristiwa tersebut benar-benar membekas di ingatan, sehingga mbah Dasiah kemudian membuat makam untuk para pejuang yang telah gugur di peristiwa tersebut. “Kali Jahe menjadi saksi bisu perang kemerdekaan,” ucapnya.

Seiring perjalanan waktu,makam tersebut kemudian diperluas hingga menjadi Taman Makam Pahlawan Kali Jahe.

Setiap Hari Pahlawan dan malam refleksi kemerdekaan RI, kami berziarah ke makam para pejuang, ada juga beberapa komunitas yang sengaja datang untuk menggelar upacara penghormatan,” ujarnya. ($.kusno)

Published by

Categorised in:

No comment for 40 Pejuang Terbaik Kompi Gagak Lodra Gugur di Kali Jahe

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *