Thursday, 18-04-2024 06:40:59 pm
Home » Sejarah » Pedut Kelabu di Langit Kadipaten Paranggarudo, Dewi Ruyung Wulan Lari Kabur dari Singgasana Pelaminan

Pedut Kelabu di Langit Kadipaten Paranggarudo, Dewi Ruyung Wulan Lari Kabur dari Singgasana Pelaminan

(1403 Views) January 13, 2021 4:21 am | Published by | No comment

Suarapatinews. Pati – Pada suatu wilayah terdapatlah kadipaten Paranggaruda yang terkenal akan kemegahannya, sang penguasa punyai hajat mengawinkan putera satu-satunya yang bernama raden Jaseri atau lebih terkenal dengan sebutan Menak Jasari dengan putri Adipati Carangsoko bernama Dewi Ruyung Wulan sebagai putri abdi dalem yang mempunyai kecantikkan yang luar biasa, halus budi pekertinya dan lembut tutur katanya, Rabu tgl (13/01/21).

Dewi ruyung wulan sesaat bersanding dengan Menak Jasari.

Menak Jasari adalah pemuda yang fisiknya cacat, dan berwajah jelek. Hingga membuat dewi ruyung wulan menolak untuk didekatinya, namun karena paksaan orang tua maka mau tidak mau Dewi Ruyung Wulan harus menerima Menak Jaseri sebagai suaminya.



Pesta perkawinan telah berlangsung, dewi ruyung wulan yang sedang bersedih, ia meminta pestanya harus diadakan pagelaran wayang yang dimeriahkan wayang purwo (wayang kulit) dengan dalang ki Soponyono yang sangat terkenal sebagai dalang yang mampu membawakan beberapa karakter tokoh yang ada dalam cerita mahabarata dan ramayana sehingga banyak penonton yang terbius seolah cerita itu hidup dan nyata.

Dalang Sapanyono kebingungan atas permintaan yang diajukan oleh dewi ruyung wulan, namun hal ini hanyalah merupakan taktik dari dewi untuk mengulur-ulur pernikahan.

 

Dan agar pernikahan ini dapat digagalkan sebab sebetulnya ia tidak mencintai raden Jasari calon suaminnya. Pernikahan yang tidak dilandasi cinta akan menyakitkan dan dapat melemahkan semangat untuk hidup berumah tangga, sebuah paksaan yang akhirnya akan merenggut sebuah kebagiaan yang sejati, pernikahan adalah menautkan dua hati anak manusia untuk saling berbagi kasih, saling merindu dengan bisikan cinta hingga ajal memisahkan.

Ia berpesan kepada dalang Saponyono untuk mencari cerita pewayangan yang mirip dengan cerita kisah sedihnya. Biar semua orang tahu rintihan hati dewi ruyung wulan.

Dewi ruyung wulan by ilustrasi. Model Anif.

Dalang Saponyono menjalankan tugas sebisanya, karena merasa tertantang untuk membawakan cerita wayang yang tidak sewajarnya, sebab lakon wayang yang biasa dibawakan dalam acara pernikahan adalah wayang yang alur ceritanya berakhir dengan kebahagiaan, namun kali ini dalang Sapanyono harus membawakan wayang dengan cerita yang berakhir sedih, hal ini pasti mendapat protes sama penonton.

Namun bagaimanapun juga dalang Soponyono harus mementaskan sebab, dewi ruyung wulan tidak mau duduk di singgasana pengantin kalau permintaannya tidak dituruti.

Akhirnya dalang Soponyono menuruti permintaan dewi ruyung wulan, Ia ditemani oleh dua orang adiknya yang cantik-cantik bernama ambarsari dan ambarwati yang bertindak sebagai waranggano swarawati dengan suara yang empuk mendayu mampu menghayutkan para penonton apalagi dengan kecantikan sebagai sinden yang mumpuni.

Raden Jaseri hatinya berbunga-bunga dapat bersanding dengan dewi ruyung wulan di pelaminan. Air liur raden Jaseri selalu menentes bila melihat kecantikannya, tidak ada bandingannya akan kecantikan yang natural khas putri kraton dengan kulit putih, pundak nawon kemit senyum selalu basah merah.

Tangannya mulai nakal mencolak-colek pipi Dewi Ruyung Wulan. Sehingga membuatnya tidak nyaman. Tengah asyik-asyiknya pagelaran berlangsung, terjadilah keributan yang ditimbulkan Dewi Rayung Wulan.

Ia lari dari pelaminan dan menjatuhkan diri di atas pangkauan dalang Saponyono, dewi ruyung wulan telah hanyut dalam cerita pewayangan, ia terpesonan dan jatuh hati kepada dalang Soponyono yang wajahnya lebih tampan dan pandai memainkan cerita wayang daripada raden Jaseri yang selalu mengumbar nafsu birahinya.

“Bawa aku lari kakang Soponyono, kalau tidak lebih baik aku mati saja!” teriaknya.!!

Hal ini tentu saja mengejutkan semua tamu yang hadir terutama orang tua kedua mempelai. Ki Dalang sendiri juga terkejut dan takut, maka ki Dalang mengeluarkan kesaktiannya, untuk memadamkan semua lampu yang berada di kadipaten Carangsoko dengan aji rengkah bumi yang menjadi piandel dalam menghadapi lawan lawannya.

Ki dalang Sopoyono, si’ar dakwah melalui seni karawitan dan wayang kulit sebagai sarana mencari jatidiri.

Keadaan yang gelap gulita itu, membuat panik yang hadir dalam perjamuan tersebut, kesempatan ini dimanfaatkan ki Saponyono melarikan diri diikuti oleh kedua adiknya dan dewi ruyung wulan.

Sang Adipati Carangsoko Puspo Handungjoyo sangat marah sekali. Ia memanggil patihnya Singopadu untuk segera mengatasi keadaan ini.

“Cepat perintahkan prajurit untuk menyalakan lampunya” para prajurit bergegas menyalakan lampunya.

Setelah lampu menyala, raden Jaseri bergulung-gulung dilantai karena calon istrinya raib bersama dalang Soponyono.

Adipati Paranggarudo memerintahkan patihnya Singopadu untuk segera mepersiapkan prajurit, mengejar Dalang Soponyono dan Dewi Ruyung Wulan.

Prajurit menyebar ke seluruh desa, memasuki rumah-rumah dengan tidak sopan santun dan kasar, rakyat Carangsoko menjadi ketakutan, mereka berlari berhamburan menyelamatkan diri. Prajurit menggeledah semua rumah penduduk barangkali mereka bersembunyi di dalam rumah penduduk dan barang siapa berani melindungnya akan dihukum pancung dan dipenggal.

Para prajurit telik sandi dari kadipaten Paranggarudo.

Hal ini membuat Adipati Puspo Handungjoyo kurang senang, yang dicari buronan dalang Soponyono bukan rumah rakyat yang dirusak. Adipati Paranggarudo tidak mau peduli, yang penting adalah Soponyono harus ditangkap hidup atau mati, karena telah menghina kewibawaan Adipati Paranggarudo yang terkenal angker dengan kumis yang melintang bagai rimbun pohon duri.

Ki Soponyono dan dewi ruyung wulan yang disertai adik-adiknya berlari terus menuju hutan, mereka berjalan mengikuti alur sungai agar untuk memecah perhatian ki Soponyono juga mengadakan perlawanan kepada para pengejar walaupun sia-sia, karena tidak seimbang jumlah pengejar dan yang dikejar.

Keluar hutan masuk hutan, dewi ruyung wulan menanggalkan pakaian kebesarannya, kemudian dia menukarnya dengan baju penduduk setempat, mereka menyamar menjadi penduduk desa, agar tidak menjadi perhatian agar penyamaran tidak diketahui oleh prajurit telik sandi dari parangarudo.

Sampailah mereka di dukuh Bantengan (Trangkil) wilayah Panewon Mojosemi, panasnya terik matahari di siang hari membuat keempat orang tersebut kehausan, musim kemarau yang panjang membuat mata air kering sehingga amat berharganya seteguk air sebagai pelepas dahaga, mereka terus berjalan untuk mendapatkan seteguk air.

Mereka duduk di bawah pohon besar yang kering, setelah berlari tanpa berhenti merupakan siksaan terlebih bagi ketiga orang putri terutama dewi rayungwulan yang tidak pernah bekerja berat dan berjalan jauh.

Rasa haus bagi ketiga putri tersebut sudah tak terhankan lagi, untuk meneruskan perjalanannya sudah tidak mungkinkan lagi.

Karena hausnya mereka berlari mengejar daratan yang penuh dengan sumber air setelah didekati ternyata hanya sebuah fatamorgana. Mereka berjalan tertatih-tatih, sampailah mereka disebuah sawah yang sunyi tidak ada sumurnya, dan sungai disekitarnya sudah kering karena kemarau panjang itu.

Melihat hal itu ki Soponyono sangat bingung hatinya karena akan meminta air pada penduduk tidak berani, takut bertemu pengejarnya, maka jalan satu-satunya adalah mencuri semangka atau mentimun yang ada di sawah tersebut.

Sang dewi ruyung wulan saat dalam perjalanan menghindari prajurit Paranggarudo, menyusuri jalan setapak dan rimbunnya dedaunan di sepanjang sungai silugonggo.

Mereka tidak menyadari bahwa semua gerak-geriknya diawasi dari jauh oleh pemilik sawah yaitu adik dari Panewu Sukmoyono yang bernama raden Kembangjoyo.

Berdasarkan laporan penduduk bahwa sawahnya sering dirusak oleh binatang seperti kerbau, kancil, namun kali ini Kembangjoyo kaget ternyata yang selama ini yang merusak tanamannya bukan binatang tapi manusia.

Raden Kembangjoyo memerintahkan anak buahnya untuk mengepung sawah tersebut dan segera menangkap pencuri timun tersebut.

“Ternyata selama ini yang merusak tanaman-tanaman kami adalah kamu! Ya maling! Tangkap,” perintah Kembangjoyo, terjadilah perang antara Ki Soponyono dengan anak buahnya Kembangjoyo, mereka semua dapat dilumpuhkan oleh Soponyono, akhirnya Kembangjoyo terpaksa turun tangan untuk menjajal kelihaian dan kesaktian maling tersebut untuk segera diringkus, mereka berdua bertarung ditengah sawah dipagi hari menjelang sinar matahari menampakkan cahaya dari timur, tanda kehidupan mulai bergulir para petani sedang riangnya menggarap sawah untuk memanen sebagai sumber pangan kehidupan manusia.

Sungguh sebuah pemandangan alam yang asri, suasana perdesaan dengan ciri khas penduduknya yang ramah ramah, kedua satria saling pasang kuda kuda dengan kembangan jurus silat dari masing masing perguruan sebagai ciri khas pertempuran segera dimulai.

Dari kejauhan tiga putri itu bersembunyi menyaksikan pertarungan tersebut, karena dianggap pasukan telik sandi Paranggarudo yang selalu memburu seperti elang yang tak kenal lelah untuk menjejak lawan lawannya.

Namun tanpa daya ki Soponyono melawan raden Kembangjoyo, karena Kembangjoyo ternyata lebih sakti dari ki Soponyono dalam tenaga dalam dan jurus silat masih dibawah satu tingkat.

Ki Soponyono ditlikung kakinya, kemudian tangannya diikat dengan tali dadung kemudian dirangket untuk dibawa ke pendopo kadipaten.

“Saya mencuri karena terpaksa ndoro” yang namanya maling juga terpaksa semua,” pungkasnya.

Selang dengan itu keluarlah dewi ruyung wulan beserta kedua adik dalang Soponyono yang setia menemani dalam pelarian sebagai buronan selama ini.

“Lepaskan kakang Soponyono, yang kamu buru aku kan, aku boleh kamu bawa asalkan kakang Soponyono dilepaskan dahulu,” bujuk dewi ruyung wulan mengira bahwa yang menangkap dalang Soponyono adalah pasukan telik sandi dari Paranggarudo yang terkenal ganas dan kejam.

Kembang Joyo menjadi heran ternyata maling yang ditangkapnya membawa tiga orang gadis yang cantik-cantik, namun karena Kembang Joyo hanya ditugaskan untuk menjaga sawah milik kakaknya, makanya ia tetap merangket keempat orang tersebut.

Mereka berempat menjadi tawanan raden Kembangjoyo, kemudian mereka dihadapkan kepada Penewu Sukmoyono untuk diminta penjelasannnya. Ki Soponyono memerkenalkan satu persatu kawan-kawannya tersebut baik kedua adiknya maupun dewi ruyung wulan.

Selanjutnya ia menceritakan semua kejadian-kejadian yang telah dialami, mengapa mereka sampai di dikejar-kejar pasukan Parang Garudo, mereka terpaksa mencuri semangka dan mentimun milik raden Kembangjoyo, karena kehausan dan lapar yang mendera berhari hari selama pelarian.

Mendengar penuturan ki Soponyono tersebut Penewu Sukmayono merasa kasihan dan tidak sampai hati untuk menjatuhi hukuman, ki Penewu Sukmayono bersedia menampung dan melindungi mereka.

“Tinggal disini semaumu, masalah Paranggarudo biar kami yang akan menghadapinya,” ujar ki Sukmoyono mempersilahkan dalang Soponyono, dan ketiga putri tersebut untuk beristirahat dahulu.

Sebagai rasa terima kasih yang tak terhingga atas segala kebaikan Sukmoyono, Ki Saponyono mempersembahkan kedua adiknya kepada Sang Penewu untuk dijadikan hambanya. Persembahan tersebut diterima dengan senang hati. Akhirnya Ambarsari diperistri oleh Penewu sebagai selir, sedangkan Ambarwati diberikan kepada R. kembang Joyo untuk dijadikan istrinya. Sedangkan Dewi Ruyung Wulan akan dikembalikan kepada bapaknya Adipati Carang Soko, Puspo Handung Joyo.

Yuyu rumpung pembesar dari Kemaguhan.

Yuyu Rumpung pembesar dari Kemaguhan yang juga merupakan anak buah Paranggarudo tahu kalau keris rambut pinutung dengan kuluk kanigoro adalah pusaka hebat yang dimiliki ki Sukmoyono.

Yuyu Rumpung memerintahkan anak buahnya, yang bernama Sondong Majeruk untuk mengambil kedua pusaka tersebut.

Akan tetapi sebelum dapat diserahkan kepada Yuyu Rumpung sudah dapat diketahui Sondong Makerti yang menjaga ndalem kraton khususnya pusaka pusaka yang ada dibilik penyimpanan sehingga terjadi pertempuran yang dasyat antar kedua punggawa senopati ini, Sondong Majeruk kelelahan dan kehabisan tenaga tidak habis pikir dengan kesaktiannya selama ini dengan sekali tebas dan gebrak mampu menjukalkan musuh musuhnya, namun musuh satu ini sangat liat dan digdaya hingga akhirnya limbung hingga mau mati, keris Rambut Pinutung yang dibawa Sondong Makerti berhasil menusuk perut Sondong Majeruk hingga tewas menggenaskan tembus kedada.

Selamatlah keris rambut pinutung tidak bisa dibawa oleh Sondong Majeruk. Yuyu Rumpung marah dan murka kemudian memerintahkan ribuan prajurit segera menyerbu Majasemi bergabung dengan pasukan Yudhopati dengan patih Singopati.

Sementera itu para prajurit Parang Garudo masih saja melakukan pengejaran dan penggeledahan di rumah-rumah penduduk. Sampailah mereka di Majasemi. Betapa marahnya Adipati Yudhopati ketika mendapat laporan bahwa buronan dalang Soponyono, Dewi Ruyung Wulan bersama kedua adik Soponyono berada di Majasemi mereka dilindungi oleh ki Penewu Sukmayono seorang adipati yang cukup waskito dan disegani karena kepimpinannya yang selalu melundungi dan mengayomi rakyatnya.

Maka terjadilah pertempuran yang sangat seru banyak korban yang berjatuhan, juga Ki Penewu Sukmoyono gugur dalam pertempuran tersebut dalam pertempuran yang berat sebelah karena menghadapi keroyokan para prajurit dari paranggarudo yang rata rata lihai dalam olah kanuragan dan pencak silat dengan jurus jurus maut, baik sapuan tendangan maupun guntingan dengan jurus gelombang seperti ombak yang tiada henti dengan lambaran aji gelap sayuto maupun gelap ngampar dan lainnya.

Mendengar Penewu Sukmayono gugur, raden Kembangjoyo mengamuk dengan memegang keris rambut pinutung dengan kuluk kanigoro pusaka andalan untuk menghancurkan pasukan Paranggarudo.

Mereka dibantu oleh pasukan Carangsoko, pertempuran dahsyat antara patih Singopati dengan patih Singopadu, memporsir energi sehingga keduanya gugur di medan laga, pertempuran di Majasemi berakhir dengan membawa banyak korban baik para prajurit, senopati maupun dari rakyat jelata.

Ki Soponyono mengantarkan Dewi Ruyung Wulan bersama-sama dengan raden Kembangjoyo.

Sebagai ucapan terima kasih, Dewi Ruyung Wulan diberikan kepada raden Kembang Joyo untuk dijadikan istrinya, karena Kembang Joyo berhasil mengalahkan Yudho Pati adipati Paranggarudo yang terkenal kesaktiannya kemudian ia menetap di Carangsoko menggantikan Puspo Handung Joyo sebagai pemimpin kadipaten.

Ia juga diangkat menjadi Adipati setelah menggabungkan tiga kadipaten yaitu Paranggarudo, Carangsoko dan Majasemi menjadi satu kadipaten Pati.

Peleburan itu telah menciptakan kerukunan dari ketiga kadipaten yang bertikai tersebut, untuk lebih memantapkan dalam memimpin kadipaten, ia mengajak dalang Soponyono untuk memperluas wilayah kekuasaannya, dan mencari lokasi yang baik sebagai pusat pemerintahan, raden Kembangjaya dan raden Sopanyono menuju hutan kemiri, dan segeralah hutan tersebut dibabat untuk kadipaten/pusat pemerintahan.

Alas (hutan) kemiri yang cukup lebat dihuni oleh beberapa binatang singa, gajah, harimau putih, ular naga dan endemik (khas) trenggiling lainnya, selain itu juga dihuni oleh kerajaan siluman, Kembang Joyo dan dalang Soponyono bahu membahu melawan kerajaan siluman tersebut berhari – hari siang dan malam pertarungan sengit dengan tidak kenal lelah takut keduanya.

Akhirnya dengan kesaktian Kembang Joyo banyak pemimpin siluman jin prewayangan yang menyerah. Untuk menangkal makhluk – makluk halus dalang Sopoyono selamatan dengan memainkan wayang di hutan Kemiri dengan lakon jamus kalimodo & sabdo pandito ratu, sirnalah pemimpin siluman beserta anak buahnya lari dari hutan kemiri.

Esok harinya Kembang Joyo dan Dalang Soponyono beserta parajurit Carangsoko melanjutkan pekerjaannya membuka hutan kemiri menjadi sebuah perkampungan, ditengah mereka sedang membuka hutan datanglah seorang laki-laki memikul gentong yang berisi air.

“Berhenti kisanak!, siapa namamu dan apa yang sedang kau pikul itu?”.

“Saya Ki Sagola, yang gentong yang kupikul ini berisi Dawet, aku terbiasa berjualan lewat sini.”

“Dawet itu minuman apa?, coba saya minta dibuatkan, prajurit-prajurit saya ini juga dibuatkan.!

“Kenapa hutan ini kok ditebangi?, kasihan para binatang pada lari ke gunung?”

“Kami sedang membuka hutan ini untuk perkampungan baru, agar kelak dapat menjadi kota raja yang makmur, gemah ripah loh jinawi, sebab derah kami dulu sudah tidak memungkinkan kita tempati akibat perang saudara, banyak tempat yang porak poranda akibat pertempuran tersebut.

Raden Kembang Joyo merasa terkesan akan minuman dawet yang manis dan segar, maka ia bertanya pada Ki Sagola tentang minuman yang baru diminumnya. Ki Sagola menceritakan bahwa minuman ini terbuat dari Pati Aren yang diberi santan kelapa, gula aren/kelapa sehingga menimbulkan aroma yang sedap dan segar setelah diminum.

Mendengar jawaban itu raden Kembangjoyo terispirasi, kelak kalau pembukaan hutan ini selesai akan diberi nama kadipaten Pati – Pesantenan, seperti yang kita kenal sekarang ini kota Pati sebuah kota spiritual dengan keragaman budaya yang adiluhung, sayang hingga sekarang mati suri tanpa ada program yang jelas dari dinas terkait untuk selalu uri – uri kabudayaan lokal sebagai kearifan lokal heritage kadipaten Pati, seperti seni rebana, jatilan, barongan, tayub maupun yang lainnya seakan punah tak tersisa.

Dalam perkembangannya kadipaten Pati – Pesantenan menjadi makmur gemah ripah loh jinawi dibawah kepemimpinan Adipati Kembang Joyo, rakyat kecil pun merasa bahagia dengan kepimpinan Adipati satu ini, tidak ada pajak yang memberatkan karena Pati adalah bumi perdikan karena semua diputuskan dengan musyawarah hati nurani dengan rasa manusiawi, bukan lagi dengan makar korupsi yang merajalela dengan intrik maupun berjamaah yang akhirnya memberatkan rakyat kecil dan jelata, sungguh seorang pemimpin yang handarbeni yang selalu melindungi rakyatnya.

Rakyat kadipaten Pati dengan tulus berdarma bhakti kepada para pepunden atau pemimpin yang selalu menganyomi rakyat kecil, dalam roda pemerintahan para abdi pamong praja pun selalu menjalankan kepimpinan dengan bijak sehingga rakyat kecil yang ada di perdesaan selalu riang dan tersenyum ramah dengan para penggede baik lurah maupun kepala dusun yang selalu memberikan kenyamanan untuk menunjang perekonomian yang ada dikampung kampung dengan hamparan sawah dan pengairan irigasi yang menunjang dari sungai silugongo selama ini, tidak ada banjir karena pendangkalan begitu terawatnya sungai ini, bahkan perahu perahu besar mampu melewati sebagai kapal niaga dan perdagangan.

Seorang figur pemimpin dan sosok seperti beliau inilah yang mampu menghantarkan rakyat ke gerbang kemakmuran yang dapat membawa kesejahteraan masyarakat, sayang kadipaten Pati seolah lenyap menjadi buas dan serakah tanpa ada seorang pemimpin yang handarbeni dengan kasih sayang seorang tua dan anak, belenggu seperti ini tidak seharusnya tidak bisa menjadi pemerintahan yang bersih dari segala gratifikasi yang sarat akan segala mark up, korupsi dan nepotisme di segala lini dan bidang. (Wasis Joyokusumo)

Published by

Categorised in:

No comment for Pedut Kelabu di Langit Kadipaten Paranggarudo, Dewi Ruyung Wulan Lari Kabur dari Singgasana Pelaminan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *