Wednesday, 27-09-2023 08:56:47 am
Home » Sejarah » Karma Seorang Aswatama Ksatria Kurawa Sejati

Karma Seorang Aswatama Ksatria Kurawa Sejati

(24025 Views) January 20, 2019 8:02 pm | Published by | No comment

Suarapatinews. Sejarah – Setelah perang Bharatayuda selesai, hampir seluruh ksatria Kurawa dan putra Pandawa banyak yang gugur dan binasa karena dasyatnya perang dipadang kurusetra hampir melibatkan ratusan ribu prajurit dan ksatria menjadi gemuruh lonceng kematian yang mengerikan, perang menjadi tumbal kekuasaan.

Aswatama sang putra Resi Drona yang harus memupuk dendam seorang diri, dendam yang harus membayar lunas karmanya.

Adalah seorang ksatria Aswahtama (Sansekerta: अश्वत्थामा, Aśvatthāmā) atau Ashwatthaman (Sansekerta: अश्वत्थामन्, Aśvatthāman) adalah anak satu-satunya putra dari guru Resi Drona dan Krepi yang sangat disayanginya.



Di kisahkan Aswatama merupakan perwujudan salah satu dari delapan Dewa Rudra dan juga merupakan salah satu dari tujuh Ciranjiwin (mahluk yang abadi) yang dikutuk untuk hidup selamanya tanpa rasa cinta setelah melakukan pembunuhan terhadap lima putra Pandawa dan mencoba membunuh janin yang dikandung Utari istri Abimanyu.

Sebelum terlahir ke dunia, sang ayah yaitu Resi Drona telah melalui berbagai usaha yang cukup berat untuk mengabdi kepada Dewa Siwa dengan tujuan agar diberkati seorang anak lelaki yang memiliki keberanian seperti Mahadewa.

Aswatama pun lahir dengan membawa permata di dahinya, permata itu memberinya kekuasaan atas semua mahluk hidup yang lebih rendah dari manusia.

Permata itu juga yang melindunginya dari serangan mahluk halus, jin, raksasa, serangga beracun, binatang buas, dan sebagainya.

Drona sangat mencintai anak tunggalnya itu, bahkan ketika mendengar desas-desus kemaitan anaknya dalam perang kurukshetra Resi Drona menjadi tidak memiliki semangat lagi untuk hidup yang membuatnya akhirnya harus gugur di tangan Pangeran Drestadyumena.

Padahal kabar yang ia dengar adalah kabar mengenai kematian seekor gajah yang bernama Hestitama bukan Aswatama.

Setelah perang besar di Kurukshetra, Aswatama diyakini sebagai satu-satunya musuh Pandawa yang masih hidup.

Aswatama memang bukan orang sembarangan ia adalah Brahmana Ksatria sebagaimana Bisma, Drona, Krepa, Karna, dan Arjuna.

Ia adalah seorang ahli ilmu perang yang terpandang sebagai salah satu ksatria ulung pada masanya.

Aswatama pun menyandang gelar maharathi, serta merupakan salah satu jenderal andalan para Kurawa dalam perang Bharatayuddha.

Setelah perang berakhir dengan kekalahan Kurawa, Aswatama berjanji kepada Duryodana bahwa ia akan membunuh para Pandawa untuknya.

Dengan liciknya ia menyelinap secara diam-diam ke dalam perkemahan Pandawa pada tengah malam, dan ketika melihat lima orang yang tertidur pulas di kemah para Pandawa ia pun segera membunuhnya dengan membabi buta.

Ia tidak tahu bahwa orang-orang yang ia bunuh itu bukamlah para Pandawa, melainkan kelima orang putra Pandawa dari Drupadi (Pancawala).

Selain berhasil membunuh lima anaknya itu, Aswatama juga berhasil membunuh Drestadyumna, Srikandi, Utamauja, dan para pimpinan pasukan yang masih hidup.

Pandawa yang mengetahui hal itu menjadi sangat murka dan segera memburu Aswatama sampai akhirnya terjadi pertarungan dengan Arjuna.

Dalam pertarungan tersebut Aswatama memanggil senjata Brahmastra yang dulu pernah ingin ia tukar dengan senjata cakra milik Kresna namun tidak berhasil.

Dengan Brahmastra ia mencoba menyerang Arjuna, dan Arjuna pun membalasnya dengan menggunakan senjata yang sama.

Kresna yang mengetahui hal tersebut segera datang untuk menengahi keduanya, ia merasa Khawatir akan dampak yang timbul jika kedua senjata pamungkas itu beradu, itu artinya kehancuran bagi dunia!.
brahmastra

Ia menyuruh mereka berdua untuk memanggil senjatanya kembali. Arjuna berhasil memanggil Brahmastranya akan tetapi Aswatama tampaknya tidak mempunyai pengetahuan bagaimana memanggil senjatanya itu kembali sehingga pilihannya adalah menggunakan senjatanya itu.

Aswatama yang masih dendam dengan Pandawa akhirnya berkata bahwa ia akan menghancurkan keturunan terakhir Pandawa, dan senjata itu pun melesat menuju rahim para wanita dalam keluarga Pandawa, salah satunya adalah Utari istri Abimanyu yang tengah mengandung.

Akibat senjata itu janin yang dikandung Utari meninggal karena terbakar di dalam perutnya, namun Kresna berhasil menghidupkannya kembali. Karena perbuatannya itu Kresna kemudian mengutuk Aswatama aswatama dengan penderitaan yang harus dijalaninya seumur hidupnya.

Karena kutukan tersebut Aswatama menderita Kusta, dan seketika itu pula permata yang ada di dahinya lepas dan membuat tubuh Aswatama mengeluarkan bau yang sangat busuk dari setiap pori-porinya, dengan kondisi tersebut ia akan merasakan hinaan, dan cercaan dari manusia yang melihatnya sampai akhir zaman Kaliyuga.

Yang jadi pertanyaan,kemanakah aswatama pergi stelah di kutuk oleh sri krisna?

Aswatama tersadar dari perbuatan khilafnya, Aswatama menyerahkan batu permata berharga (Manik) yang terletak di dahinya kepada Sri Krisna, yaitu permata yang membuatnya tidak takut terhadap segala senjata, penyakit, atau rasa lapar, dan membuatnya tak takut terhadap para Dewa, Danawa, dan Naga.

Aswatama mohon supaya tidak dikutuk oleh Sri Krisna, tetapi Sri Krisna mengatakan bahwa itu bukan kutukan melainkan buah karma atas apa yang telah dilakukan selama hidupnya, atas perlindungan dan jaminan Bhagawan Abiyoso, Aswatama diampuni.

Aswatama kemudian melakukan penebusan dosa mengembara kearah barat ditanah padang nan tandus di gurun pasir disemenanjung Arvasthan dan hidup selama 1000 tahun sebagai seorang pertapa yang mengembara.

Aswatama bukan brahmana lagi, meskipun beliau keturunan Brahmana atau berasal dari Brahmana.

Aswatama anak Brahmana Bhagawan Dronacarya, selama hidupnya sampai perang Bharatayudha berakhir memilih hidup sebagai Ksatria membela pihak Kurawa dalam perang di Kuruksetra tahun 3138 SM.

Setelah tersadar dari kekhilafan, atas jaminan dan bimbingan Maharesi Wiyasa, kemudian melakukan penebusan dosa, pergi dari Hastina pura menuju kerah barat.

Ditempatnya yang baru Aswatama menjalani hidup sebagai seorang pertapa mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha pengasih lagi maha Pengampun.

Aswatama mengasingkan diri di suatu tempat yang masih asing. Penduduk setempat menyebut Aswatama sebagai orang KAURA/KURU/KORA.

Kata WA dalam bahasa sansekerta berarti keturunan, seperti Pandawa, artinya keturunan Pandu dan Kaurawa berari keturunan Kuru/Kaura.

Bahasa yang dipakai oleh Aswatama bahasa-nya orang Kuru/Kaura/Kora/KAURAN, yang oleh penduduk setempat disebut bahasa dari seberang atau bahasa asing ( HEBREW).

Aswatama bagi orang setempat disebut orang Asing (=muhajirin).

Di tempat pengasingannya Aswatama kembali menjalani hidup sebagai seorang Brahmana, dan mendirikan Kuil pemujaan didaerah yang sangat kering, tandus dan panas, Daerah itu Ibaratnya seperti Padang Pagangsaran di lintasan Sorga dan Neraka di kadewatan sana.

Di tempatnya yang baru Aswatama mengasingkan diri melakukan penebusan dosa, dia bisa hidup tenteram beranak pianak di sana.

Meskipun diawal-awal pengasingan dirinya diterpa berbagai macam cobaan yang dihadapi-nya dengan tabah dan sengsara. (bersambung)

Published by

Categorised in:

No comment for Karma Seorang Aswatama Ksatria Kurawa Sejati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *