Saturday, 20-04-2024 06:27:34 am
Home » Hidayah » NINGRUM Gadis Kecilku

NINGRUM Gadis Kecilku

(1248 Views) February 6, 2020 8:18 pm | Published by | No comment

Suarapatinews. Cerpen – Aku mungkin orang yang tak pernah peduli dengan hal lain kecuali diriku sendiri, rasa kemanusiaan dan jiwa sosialku berada pada titik yang orang bilang sebagai tak punya perasaan. Begitulah aku, namun, pernahkah aku memikirkan penilaian orang lain? Tidak.

Ilustrasi/Dok/Cerita Pendek.

Lalu, di suatu hari Tuhan mengirimkan seseorang untuk mulai mengusik rasa kemanusiaanku.



Ningrum Begitulah namanya, cantik tak hanya nama tetapi juga orangnya, andai dia terurus dengan baik, sayangnya gadis itu seperti kain pel saja terlihat begitu kumuh, kotor, dan bau, pertama melihatnya perutku langsung merasa mual.

Aku tidak mengerti apa yang dia pikirkan hingga rupanya menjadi sebuluk itu. Dia waras bukan orang gila yang merata-rata di jalan. Meski kebiasaan mereka nyaris sama berkeliaran makan sembarangan, hidup seperti anjing jalanan yang liar.

Awal aku melihat dia, aku pikir dia perempuan gila, akan tetapi, pelayan warung tempat aku biasa makan siang bilang kalau dia waras, hanya memang tak pernah mengurus dirinya dengan benar.

“Kenapa begitu? Dia tinggal di mana? Apakah sering membeli makan di tempat ini?” pertanyaanku beruntun pada pelayan itu setelahnya aku jadi heran sendiri, biasa aku tidak secerewet itu.

“Dia tinggal tidak jauh dari sini, mas, di dekat stasiun kereta tua yang tak lagi digunakan itu, sejak kecil dia hidup di sana dekat jalur gang arah ke timur pintu barat, stasiun kereta yang berdiri sejak jaman kompeni jauh sebelum kemerdekaan, ya stasiun yang ada ditengah kota.

“Rumah kardus?”

“Iya.”

“Dengan keluarganya?”

“Sendirian. Tidak jelas siapa orang tuanya, sejak kecil selalu menggelandang dan mencari makan sendiri.”

Aku tidak bertanya apa – apa lagi, obrolan lantas terhenti sampai di situ saja.

Beberapa kali aku melihat gadis itu. Dengan nama yang menurutku cukup njawani waktu pertama kali mendengar namanya, aku pikir itu nama yang cukup anggun dan elegan “NINGRUM”.

Dengan tampilan seburuk rupa itu dia memiliki nama sangat bernilai tinggi seperti gadis ningrat yang ada.

Sepulang dari proyek aku dan teman-teman mampir di sebuah kafe untuk minum. Beberapa dari mereka sama sepertiku. Hanya perantau yang belum lama datang ke kota Pati ini karena pengerjaan proyek pembangunan perumahan yang ada di gunung bedah.

Kami asyik mengobrol, sampai aku mendengar nama Ningrum disebut. Mereka saling berkelakar tentang gadis itu sesuatu sepertinya terlewat dari pengetahuanku, tak urung, itu mengusik rasa penasaran yang aneh.

Terlebih, setiap namanya disebut, mau tak mau telingaku jadi terpasang meski aku tak berniat untuk mendengar, sungguh, sebetulnya aku tak pernah ingin tahu tentang si dekil itu, namun, namanya selalu membuatku jadi awas bahkan di luar kesadaran yang kumaui, kadang itu membuatku kesal sendiri.

“Anwar cukup pintar. Dia mandikan dulu gadis mungil itu baru setelah bersih dia membawanya pulang ke kosnya, aku sendiri tak sanggup berpikir sejauh itu.”

Pernahkah aku berurusan dengan perempuan untuk hal cabul? Tidak. Akan tetapi, aku tidak segoblok itu untuk segera menerka topik mereka dan, apa yang terjadi di belakangku dengan gadis itu.

Perutku terasa mual, bukan tentang sok suci, tetapi aku tak menyangka mereka serakus itu hingga gadis gembel seperti itu pun mereka pungut juga ke tempat tidur.

Maksudku, jika aku menginginkannya, aku tahu orang seperti apa yang akan aku tarik masuk ke dalam kamar tidurku.

Aku tidak tahan dengan obrolan mereka selanjutnya dan beralih pekerjaan untuk bisa segera enyah dari kafe itu, pulang ke rumah kost.

Dalam perjalanan aku ingat kali pertama melihat Ningrum, gadis mungil yang awalnya kupikir gelandangan gila. Waktu itu aku pulang malam dari proyek dan sesuatu tampak mencurigakan di balik tiang listrik dekat simpang jalan.

Tengah aku berpikir untuk melihatnya, tiba-tiba sosok ramping dan dekil itu melompat dengan anak kucing dalam gendongan. Wujud keduanya persis serupa, aku mengernyit dan kupikir sebaiknya segera pergi dari sana saja.

Namun, seruan Ningrum menghentikan langkahku yang hendak masuk ke dalam gang tempat aku mengontrak sebuah rumah kecil.

“Mas, boleh aku minta botol minumannya?”

Aku menoleh, lalu melirik botol air mineral di tangan kiri, kemudian aku mengangsurkan padanya dengan tangan kanan. Bah! Bahkan dengan manusia tak jelas seperti itu pun aku tak lupa pada tata kramaku, aku memaki diri sendiri.

Dia segera menyambutnya geraknya sangat sigap, dia membuka tutup botol, mendekatkan ke mulut kucing kecil dalam pelukannya.

Kemudian seperti seorang ibu yang tengah menimang anak kesayangan, dia memberi minum kucing itu lantas berlalu pergi, tanpa ucapan terima kasih sedikit pun.

Namun, apa yang bisa aku harapkan pada orang seperti dia? Pikirku melantur dan cepat meneruskan langkah kembali ke rumah.

~~~

Aku kehilangan sesuatu yang selama ini menarik perhatianku, tanpa aku ingini tetapi itulah kenyataannya. Sosok kumal yang biasa berkeliaran itu tak tampak, sudah berhari-hari lamanya.

Biasanya, dia akan mengorek sampah mencari botol dan kaleng kosong, dia kumpulkan dalam plastik besar warna biru.

Kadang kalau sudah selesai dengan pekerjaan mengumpulkan plastik dan kaleng bekas itu, dia akan muncul di lokasi proyek untuk membantu mengangkat bata serta kerja kasar lainnya, akan tetapi, sudah berhari-hari dia tidak muncul dan berkeliaran di depan mataku.

“Dia sakit, Pak,” sahut seorang kuli bangunan yang aku tanya.

Aku tidak melanjutkan rasa penasaranku, hingga dua minggu lebih berlalu. Ningrum masih sakit juga? Sebab dia tidak kunjung berkeliaran seperti biasanya, aku mulai dirambati rasa aneh. Ada apa denganku? kenapa aku harus merasa ada yang hilang tanpa kehadiran gadis itu?

Baiklah, akan aku selesaikan ini, jadi, aku putuskan untuk datang ke rumah kardus itu. Jika nanti ada orang bertanya padaku di sana karena mencarinya, aku bisa bilang itu karena masalah dia tidak muncul kerja cukup lama.

Dan, sebagai kepala proyek aku hanya sekadar ingin tahu kenapa. Baik, sepertinya itu alasan yang cukup bisa menyelamatkan mukaku.

Lantas, di sinilah aku sekarang. Pada suatu tempat yang bahkan dalam mimpi buruk pun tak pernah aku bayangkan akan aku pijak. Seorang lelaki tua menatap aku dengan pandangan bertanya.

“Saya mencari Ningrum,” kataku padanya sebelum orang itu bertanya.

Lelaki itu sesaat menatapku lama sebelum kemudian menunjuk ke salah satu sudut, aku mengikuti telunjuknya kemudian mengucapkan terima kasih, belum lagi aku berjalan ke arah yang dia beri tahu, lelaki itu angkat bicara.

“Tapi sekarang dia sedang sakit, sebaiknya kembalilah beberapa hari lagi untuk maksudmu itu.”

Keningku berkerut, tak mengerti apa maksud ucapan lelaki tua itu. Aku mengacuhkannya dan melanjutkan langkah ke rumah kardus tempat Ningrum tinggal.

Perasaanku mendadak gamang begitu tiba di bangunan tambal sulam dari kotak dan papan asal tempel itu. Ini sebuah rumah, kah? Leherku terasa kering mendadak. Nyaliku bahkan sedikit menciut, sebenarnya, apa yang aku lakukan di sini?

Suara batuk yang agak berat dari dalam ‘rumah-rumahan’ itu seperti sebuah undangan agar aku masuk. Tanpa mengetuk pintu sebab memang tak ada bentuk yang bisa kusebut sebagai pintu, aku masuk ke dalam, saat itu juga, ulu hatiku seperti ditohok dengan keras.

Jika aku pernah mengandaikan dia sebagai kain pel, itu hanya satu kiasan. Akan tetapi, yang kini tampak di depan mataku betul-betul telah menyerupai kain pel dalam arti sebenarnya. Ningrum tergeletak di kasur tipis seperti onggokan kain yang lunglai dan tak berdaya seperti tubuh tanpa tulang.

Tubuhnya begitu tipis, dalam balutan selimut dan pakaian yang sangat tidak layak. Andai dia tidak bersuara, maka aku tak akan pernah tahu kalau di balik kain itu adalah sosok manusia.

Duniaku seperti terhumbalang ke sebuah cerita-cerita fantasi tentang negeri antah berantah yang dikutuk karena kebanyakan orangnya berbuat dosa, sehingga tak ada kehidupan yang layak di sana sebab Tuhan murka pada mereka.

Aku mendekat, memaksakan diri untuk bersuara ditengah usahaku mati-matian menahan bau yang ada di rumah kardus itu.

“Ningrum?”

Kelopak mata yang semula terpejam rapat itu bergerak-gerak, kemudian terbuka sedikit. Dia menatapku lama tidak berbicara sebelum kemudian berujar sangat lirih.

“Sekarang tidak bisa. Aku sedang sakit.”

“Apanya yang tidak bisa?” aku bertanya tak mengerti.

Ningrum menatapku lama, lantas bertanya. “Ada apa mencariku?”

“Kamu sudah lama tidak muncul di proyek, mengangkat batu bata membantu para kuli.”

Dia seperti tidak menyangka aku akan mengatakan itu. Ada riak kejut di bola matanya yang redup dan sayu, kerling mata hitam yang masih polos, tajam seperti cahaya bintang di malam hari sungguh bola mata yang cukup indah dan menawan.

“Aku sakit, nanti kalau sudah sehat aku akan ke proyek lagi. Apa hanya untuk itu Bapak datang mencariku?” tatapan mata yang redup itu tampak seperti menyelidik. Aku mengangguk.

“Iya. Memangnya kamu pikir apa?”

“Tidak ada. Tetap saja Bapak membuatku terkejut, orang penting seperti Bapak bisa sampai datang ke sini mencariku.”

Ucapannya itu membuatku jadi salah tingkah untuk sesaat, andai aku bisa menjawab kenapa. Sayangnya, aku sendiri juga masih tak habis mengerti dengan kakiku yang bisa sampai ke rumahnya, hanya rumah kardus gumamku. (dalam helaan nafas panjang ku).

“Kamu sakit apa?”

“Bukan sakit apa-apa. Hanya lelah.”

“Sudah berobat?”

“Tidak perlu. Nanti juga sembuh.”

“Kamu tidak datang lebih dari dua minggu, selama itu jugakah kamu sakit?”

Ni Luh tidak menjawab pertanyaanku. Jadi aku anggap itu benar.

“Aku akan membawamu ke dokter. Apa kamu bisa bangun?” tanyaku.

Di luar dugaan, gadis itu tertawa, tawa polos dan cengengesan anak kecil.

“Kenapa?”

“Apa Bapak menyukaiku?” tanya dia dengan menatapku setengah mengejek.

“Tidak. Ini cuma rasa kemanusiaan. Kenapa? Kamu tidak suka dengan perlakuanku?” jawabku datar (tidak bisa dipungkiri rasa kasih yang selalu hadir) entahlah.

Ningrum terdiam. Lama dia tidak menjawab, kemudian dia tertatih bangun, tubuh itu begitu tipis dan ringkih. Apa yang dia makan? Atau, dia memang tidak cukup makan?

Setelah bisa duduk dengan susah payah, Ningrum menatapku lama.

“Ini untuk pertama kalinya ada yang bilang begitu padaku. Bapak pasti orang baik.” Dia tersenyum samar.

~~~

Aku bukan orang baik, aku tidak pernah peduli dengan segala kemelaratan di sekitarku. Aku hanya perlu mengurusi diriku sendiri. Itu saja. Latar belakang keluargaku yang cukupan membuatku hanya pernah merasa lapar jika di bulan puasa. Selebihnya, aku cukup makan dan cukup kebutuhan lainnya.

Aku tidak tahu rasanya sengsara, mungkin karena itu aku tidak punya cukup empati pada orang yang tidak beruntung hidupnya. Aku selalu berpikir, jika kamu hidup dengan baik, sudah pasti hidupmu akan baik-baik saja.

Namun, jika hidupmu sengsara, itu pasti karena ada yang salah dalam menjalaninya. Begitulah cara kerja otakku.

Sampai aku membawa Ningrum ke sebuah rumah sakit, dan bertemu dokter yang merawat dia. Karena aku yang membawa, mau tidak mau aku harus menjadi wali bagi Ningrum.

“Ada infeksi di saluran kemih, peradangannya sangat buruk. Dia tidak mendapat perawatan apa pun dan lingkungan tempat tinggalnya jauh dari kata layak.

Dia harus tinggal lama di sini. Bapak yakin akan membiayai pengobatannya? Sebab saya pastikan, itu akan menguras uang Bapak nanti.”

“Tidak masalah, rawat saja dia sampai benar-benar sembuh, Dok. Semua biaya atas nama saya,” ujarku dengan nada tandas. Aku tidak ingin ada pertanyaan lagi atas kesediaan atau pun kesanggupanku untuk biaya rawat inap Ningrum.

Dokter itu memandangku lama, aku lihat dia memperbaiki duduknya raut muka yang semula datar berubah menjadi sangat serius. Aku mulai merasa tidak enak sekarang. Apa dia meragukan keuanganku? Atau, dia anggap aku membual kalau aku bersedia mengurus Ningrum? Apa yang dipikirkan dokter itu sebenarnya?

~~~

Dan, apa yang ada di pikiranku sebetulnya ketika aku mulai tertarik pada gadis itu? Bukan. Bukan karena aku melihat kecantikannya yang tersembunyi, karena aku bahkan tak sekali pun pernah memperhatikan fisik gadis itu.

Hingga aku melihat dia di ruang rawat inap dalam balutan baju yang bersih serta layak. Aku hampir tak mengenali dia, juga tak percaya itu adalah Ningrum.

Kini aku tahu, kenapa banyak temanku yang pergi mencarinya hanya untuk melampiaskan nafsu bejatnya, Ningrum memang gadis belia yang cantik jelita jika sudah dimandikan dan memakai pakaian yang pantas. Namanya, menjadi indah sesuai bagi dia wajah ayunya, kulit kuning langsat juga tinggi semampai untuk ukuran seumurannya. Aku menelan ludah getir. Segetir kenyataan yang harus aku telan.

Aku mengambil kursi lalu duduk di dekat tempat tidur Ningrum. Dia segera bangun dari tidur dan duduk bersandar pada tumbukan bantal. Senyumnya lebih segar sekarang, setelah empat hari dia masuk rumah sakit.

“Sekarang Bapak pasti sudah tahu tentang aku.” Dia membuka pembicaraan.

Aku hanya tersenyum tipis. Enggan bicara lebih. Ningrum seolah olah aku tahu apa yang telah terjadi selama ini dalam kehidupannya, aku tidak ingin membicarakan tentang dirinya.

“Jika sudah boleh pulang nanti, tinggallah di rumah kontrakanku. Jangan kembali ke rumah kardusmu lagi.” Aku berkata setelah kami terdiam lama. Ningrum mengangkat kepalanya. Menatap aku dengan seribu tanya yang tak terucap.

“Aku tidak sama seperti teman-temanku yang pernah mencarimu. Aku juga tidak tahu kenapa aku mau melakukan ini. Jadi jangan tanya apa-apa. Jalani saja pengobatanmu dan setelah itu kamu ada dalam pengawasanku. Kamu mengerti?”

Ningrum tidak menjawab, namun, aku juga tak butuh jawaban darinya. Ucapanku adalah perintah, dan dia harus patuh pada perintahku itu.

Dia memang bukan pekerja resmi di proyek, tetapi dia sudah makan gaji dari proyek. Maka itu artinya, aku adalah atasan dia. Untuk itu dia harus menurut kepadaku.

~~~

Tuhan mempertemukan kami dengan maksud bermain-main dengan perasaan serta akal kami.

Aku yang tak pernah peduli dengan hidup orang lain, bertemu dengan Ningrum yang tak pernah dipedulikan oleh orang lain, mungkin karena itu, kami jadi seperti dua kutub yang saling tarik menarik. Tentang sebuah rasa apakah ini tentang rindu” kata Dylan rindu itu berat, ucapku lirih hampir tak terdengar desisku “(perasaan dua anak manusia)

Pergunjingan itu terbungkam dengan selembar surat dari dokter yang membuat Anwar serta teman teman CSnya beberapa orang lain harus hidup dalam mimpi buruk mereka.

Setidaknya, sampai nanti hasil laboratorium memberi jawaban yang mereka inginkan. (positif).

“Gadis itu dibuang oleh orang tuanya. Sejak kecil umur 10th dia tinggal di rumah kardus itu bersama semua orang yang ada di sana.

Mereka orang tua juga keluarga bagi dia. Anda sudah melihat dia, kan? Tentu tak sulit bagi anda membayangkan hidup gadis itu saat dia mulai beranjak besar. Dia menjadi mangsa yang empuk bagi siapa saja yang ingin menyantapnya.

Hingga suatu hari dia datang ke rumah sakit ini karena mengalami keguguran. Hasil tes kesehatan itu tidak terlalu mengejutkan bagi kami mengingat dia melakukan secara sembarangan dan tanpa pengaman.

Dia tidak tampak takut menghadapi vonis penyakit itu. Akan tetapi, dia mulai berubah dalam banyak hal. Tampil dekil dan seburuk mungkin. Toh, itu tidak membuatnya lepas dari keserakahan nafsu bejat laki-laki.

Sebab dia tahu paksaan itu akan menyakitkan, tak jarang dia kena gampar bahkan pukulan dan tendangan dari mulut yang masih tercium bau minuman keras, manusia yang sudah hilang akalnya, maka dia melakukannya dengan pasrah tanpa dipaksa.

Dia bahkan pernah berontak dan lari karena tak ingin menjadi pelampiasan dari mereka yang telah hilang hati nuraninya karena nafsu, yang semestinya hal itu disalurkan ke istri yang menanti dirumah, tetapi orang itu berpikir kalau dia hanya membuat alasan untuk tidak mau melayani.

Kemudian, dia tak pernah lagi mengatakan kebenaran tentang dirinya, sakit yang selalu mendera dibatang kemaluannya, bahkan beramai ramai mereka seakan akan menikmati dunianya.

Aku menelan ludahku sendiri yang terasa pahit.

Ningrum bercerita banyak padaku, dia sudah berkeras tidak mau menanggapi dan melayani orang-orang tersebut. Dia bahkan telah mengatakan tentang keadaannya, tentang kemiskinan yang menderanya, tentang keluarga yang telah membuang dirinya.

“Teman Bapak tidak percaya. Dia tetap memaksaku. Dia pikir, orang yang tidak sekolah sepertiku ini tahu apa tentang itu. Pasti hanya mengarang karena melihat berita di tivi.

Mereka menertawakanku, sekarang, sepertinya mereka tidak akan sanggup lagi tertawa hingga seumur hidup mereka, siapa yang menularkan penyakit kelamin ini” sypilis atau bahkan AIDS telah melemahkan tubuh mungil itu,” (sungguh terasa sesak dadaku).

Kening Ningrum tampak mengernyit. Ada rasa sakit di sepasang mata bulat itu. Rasa sakit juga aku rasakan di jantungku, tubuh itu semakin layu tak berdaya.

~~~

Biasanya, Ningrum suka duduk di teras samping. Diam mendengarkan suara radio dari rumah tetangga sebelah. Meski ada televisi di rumah yang kami tinggali, tetapi gadis itu lebih suka mendengarkan siaran radio dari rumah tetangga.

Satu bulan dia tinggal bersamaku. Aku tidak mengijinkan dia melakukan aktivitas pekerjaan rumah apa yang dapat menguras energinya, karena sudah ada orang yang datang setiap hari untuk mengurus rumah. Namun virus yang menggerogoti tubuhnya semakin nyata, wajah cantiknya semakin memucat seperti tanpa darah.

Merawat dia sama sekali bukan pekerjaan sulit karena bukan tanganku sendiri yang harus melakukannya. Selain itu, Ningrum bukan jenis orang rewel ataupun ngelunjak.

Semakin hari dia menjadi lebih baik, tubuhnya mulai berisi. Kesegaran usia remajanya yang baru menginjak tahun ke tujuh belas memang bisa memesona siapa saja. Apalagi lelaki hidung belang.

Pagi itu, adalah senyumnya yang tercantik dan terakhir saat ketika melepasku pergi bekerja. Tidak seperti biasa, Ningrum mengantar hingga beranda. Selama ini dia tak pernah mau menunjukkan dirinya pada orang luar karena konon ingin menjaga nama baikku, padahal aku sendiri bahkan tak memusingkan itu.

Kemudian pukul dua siang aku mendapat telepon dari rumah sakit. Jantung Ningrum berhenti mendadak. Dia mengalami gagal jantung bahkan di saat kondisi fisiknya tampak bugar serta baik-baik saja. Meski aku telah menyiapkan diri dengan hal seperti ini, tetap saja, ternyata aku tak pernah benar-benar siap.

Aku benar benar kehilangan dirinya.

Takdir itu begitu tragis untuk Ningrum gadis mungil ku. Beberapa hari belakangan sudah nampak sehat dan ceria senyumnya yang merekah setiap pagi selalu mengantarku diteras rumah, sapa santunnya dan candanya saat kupulang dari tempat kerja hanya menjadi kenangan dengan cerita cerita getir hidupnya.

Rumah kini terasa teramat sunyi dan setiap kali ada orang memanggil namaku. Ada yang terasa nyeri pada tubuhku dan hilang kesadaranku” seolah Ningrum masih ada dirumah.

“Bapak satu-satunya orang yang memanggilku Ningrum. Awalnya itu terasa aneh, lama-lama aku justru menyukainya,” katanya suatu kali. Aku hanya tersenyum getir waktu itu. (selama ini tak lebih dipanggil seperti perempuan hina dan rendahan). begitulah orang orang memanggilnya.

“Bapak tahu, aku punya permintaan kepada Tuhan. Jika aku mati nanti, aku ingin menjadi bintang untuk Bapak.”

“Itu tidak perlu. Aku sudah menjadi bintang untuk diriku sendiri,” kataku pendek, yang ditanggapi dengan tawa berderai oleh Ningrum.

Dan, Ningrum tertawa terpingkal-pingkal. Entah apa yang menurutnya lucu. Apakah hanya karena kami merasakan kebahagiaan yang sama?

Lalu suatu hari dia memberiku secarik kertas dengan bentuk tulisan yang cukup rapi.

“Apa ini?”

“Surat. Bacalah.”

Aku membuka lembaran kertas yang dilipat menjadi segitiga.

‘Kepada Bintang, yang bersinar terang bahkan di siang terik, menjadi teranglah selalu tidak hanya di mataku, tetapi bagi banyak orang di sekitarmu. Yang selama ini tak pernah melihat kebaikanmu.’ (by wahyu kusuma ningrum).

Aku menatap kosong pada deretan bintang yang ada di langit semoga sorgalah tempat terbaik untukmu, selalu menjadi cahaya dalam hidupku,” gumamku dalam do’a. (Eko)

Published by

Categorised in:

No comment for NINGRUM Gadis Kecilku

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *