Saturday, 02-12-2023 06:01:31 am
Home » Pendidikan » Mana Yang Lebih Akurat? Salah Diagnosa, Kesehatan Dan Mental Masyarakat Jadi Taruhannya

Mana Yang Lebih Akurat? Salah Diagnosa, Kesehatan Dan Mental Masyarakat Jadi Taruhannya

(262 Views) November 18, 2020 10:54 am | Published by | No comment

Suarapatinews. Pati – Salah satu upaya penanggulangan COVID-19 yaitu melakukan deteksi penyebaran virus melalui tes pemeriksaan, Rabu tgl (18/11/20).

Dilansir dari halodoc.com, sejauh ini Pemerintah Indonesia memiliki tiga jenis tes pemeriksaan penyakit COVID-19, yakni tes cepat molekuler (TCM), polymerase chain reaction (PCR), dan rapid test.



1. TES CEPAT MOLEKULER (TCM), Metode pemeriksaan covid-19 ini menggunakan dahak dengan amplifikasi asam nukleat berbasis cartridge.

Virus SARS-CoV-2 diidentifikasi pada RNA-nya yang menggunakan cartridge khusus.

Hasil tes ini terbilang cukup cepat, karena bisa diketahui hasilnya dalam waktu kurang lebih dua jam.

Untuk pemeriksaan TCM ini dapat ditemukan di 132 rumah sakit dan beberapa puskesmas yang ditunjuk pemerintah.

2. POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR), PCR atau lebih dikenal dengan swab tes ini menggunakan sampel lendir dari hidung atau tenggorokan.

Dua lokasi ini dipilih karena menjadi tempat virus menggandakan dirinya.

Selain itu juga bisa mengambil sampel cairan dari saluran pernapasan bawah atau juga mengambil sampel tinja untuk tes ini.

Virus yang aktif akan memiliki material genetika yang bisa berupa DNA maupun RNA.

Nah, pada virus corona, material genetik tersebut adalah RNA.

Material ini yang diamplifikasi dengan RT-PCR sehingga bisa dideteksi.

Berbeda dengan TCM, metode pemeriksaan ini membutuhkan waktu lebih lama untuk mendapatkan hasilnya karena melalui dua kali proses yaitu, ekstraksi dan amplifikasi.

3. RAPID TEST, berbeda dengan dua jenis pemeriksaan di atas, pemeriksaan rapid test menggunakan sampel darah untuk diuji.

Darah digunakan untuk mendeteksi imunoglobulin, yakni antibodi yang terbentuk saat tubuh mengalami infeksi.

Pemeriksaan rapid test dapat ditemukan dibanyak rumah sakit, waktu pemeriksaannya pun cukup singkat yakni hanya 15-20 menit untuk langsung mendapatkan hasilnya.

Hanya saja, tes ini memiliki kelemahan, karena bisa menghasilkan ‘false negative’ atau kondisi saat hasil tes tampak negatif meski sebenarnya positif.

Biasanya, hal ini terjadi saat tes dilakukan kurang dari 7 hari setelah infeksi.

WHO pun tidak merekomendasikan tes ini untuk kepentingan klinis namun bisa digunakan untuk kepentingan penelitian.

Dari ketiga pemeriksaan tersebut yang lebih sering digunakan adalah rapid test, karena dapat dilakukan dihampir seluruh rumah sakit di Indonesia, selain itu waktu pemeriksaannya pun paling cepat diantara pemeriksaan tes lain dan biaya nya pun paling terjangkau.

Namun, ironinya keberadaan alat tes diagnostik cepat (rapid diagnostic test) untuk pemeriksaan COVID-19 di Indonesia saat ini, bukan malah memecahkan masalah tetapi malah menimbulkan kegelisahan baru di kalangan masyarakat.

Masalah utamanya adalah tingkat akurasi hasil rapid test yang rendah, bahkan pada orang dengan gejala.

Hal ini mengakibatkan banyak pihak yang melakukan rapid test positif, tapi ternyata tidak terinfeksi atau sebaliknya.

Juru Bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito, mengatakan rapid test tidak digunakan sebagai diagnosis.

Ia menyampaikan, rapid test atau tes cepat hanya digunakan untuk screening awal saja dan bukan hasil akhir.

Pemerintah pun sudah mengakui ketidakakuratan dan ketidakefektifan rapid test dan berencana memperbanyak tes menggunakan sampel dari lendir hidung atau tenggorokan dengan tes real-time reverse transcriptase Polimerase Chain Reaction (rRT-PCR) untuk mendeteksi virus di molekul RNA.

Tes PCR lebih akurat mendeteksi virus dibanding tes diagnostik cepat.

Padahal, dilansir dari kontan.co.id Kementrian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalui PT Rajawali Nusantara (RNI) telah memesan 500.000 alat rapid test corona dari Tiongkok yang nantinya akan disalurkan ke berbagai rumah sakit rujukan COVID-19 yang sudah ditunjuk pemerintah.

Selain tidak akurat, rapid test juga tidak efisien karena orang yang telah menjalaninya tetap harus diperiksa kembali melalui uji PCR.

Dalam web aladokter.com dikatakan, Rapid test dilakukan dengan mengambil sampel darah dari ujung jari.

Melalui sampel darah tersebut, dokter kemudian memeriksa dan mendeteksi keberadaan antibodi IgM dan IgG untuk virus corona, yang mana kedua antibodi ini diproduksi secara alami oleh tubuh saat terpapar virus Corona.

Dengan karta lain, rapid test dilakukan bukan untuk mendeteksi keberadaan virus corona, melainkan hanya untuk mengetahui apakah tubuh pasien telah membentuk antibodi untuk melawan virus tersebut atau belum.

Banyak masyarakat yang resah dengan adanya rapid tes ini, bagaimana tidak? Ketika seseorang dinyatakan reaktif COVID-19 melalui pemeriksaan rapid ia harus melakukan karantina 15 hari dan juga dikarantina di tempat-tempat tertentu untuk pasien penderita COVID-19.

Tiap hari bertemu dengan pasien COVID-19, keluarga, tetangga menjauhinya karena takut tertular penyakit ini, akibatnya selain daya tubuhnya menurun mentalnya pun melemah.

Banyak dugaan pasien yang dinyatakan reaktif melalui pemeriksaan rapid test kemudian meninggal, ia meninggal bukan karena terpapar virus corona tetapi karena tekanan mental yang ia hadapi.

Dan mungkin penyakit lain yang belum tentu itu adalah COVID-19.

Sebab, ketika seseorang menderita demam, batuk, pilek tubuhnya pun akan memproduksi antibodi untuk melawan virus tersebut itulah sebabnya ia dinyatakan reaktif melalui pemeriksaan rapid test. (Nurul Chasanah)

Published by

Categorised in:

No comment for Mana Yang Lebih Akurat? Salah Diagnosa, Kesehatan Dan Mental Masyarakat Jadi Taruhannya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *