Suarapatinews.com – Pati. Masyarakat Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki keragaman mencakup beraneka ragam etnis, bahasa, agama, budaya, dan status sosial. Keberagaman bisa menjadi pengikat kemasyarakatan namun dapat menjadi penyebab terjadinya benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan antar nilai-nilai hidup.
Keragaman di Indonesia merupakan kekayaan dan keindahan bangsa. Dasar negara inilah yang mempersatukan keberagaman tadi, termasuk keberagaman dalam memeluk agama dan dalam mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. Dengan demikian, pemerintah harus bisa mendorong keberagaman tersebut menjadi suatu kekuatan untuk bisa mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional menuju Indonesia yang lebih baik. pada dasarnya semua agama mengajarkan moderasi. Tuhan menurunkan agama melalui nabi untuk menjaga harkat dan martabat manusia yang harus dilindungi sesuai konteks kemanusiaan.
Indonesia memang bukan negara Islam. Namun, Indonesia mengakui adanya enam agama dan memberi hak kepada setiap pemeluknya melaksanakan ibadah dan ajarannya. Jadi, Indonesia pada dasarnya, memegang moderasi beragama sejak dulu. Kita jarang menemukan ada negara begitu kental dan kuat nilai-nilai agama ikut memengaruhi kehidupan masyarakatnya. Nilai-itu menjadi landasan utama dan pijakan dasar dalam kemajemukan kita menjalani kehidupan bersama.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural dan multikultural, keberagaman di Indonesia menjadi sebuah anugerah dan kehendak Tuhan yang patut disyukuri karena dengan keragaman itulah seseorang dapat mengambil jalan tengah dalam segala hal, ketika satu pilihan yang tersedia tidak memungkinkan untuk dijalankan. Banyak yang terjebak ke dalam paham ekstremisme karena tidak mengetahui bahwa ada kebenaran lain yang masih dapat ditempuh. Indonesia dengan segala keragamannya yang meliputi etnis, suku, budaya, bahasa, dan agama menjadikannya sebagai negara yang paling kaya akan keragaman. enam agama yang dipeluk dan diyakini oleh bangsa Indonesia yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Keragaman itu memang selalu menimbulkan perbedaan, perbedaan di bidang apa pun selalu memunculkan konflik. Jika tidak diselesaikan dengan baik, maka akan sangat berpotensi menimbulkan sikap ekstrem yang selalu membenarkan pilihan-pilihan yang terbatas. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan solusi yang mampu memberikan kedamaian dan kebahagiaan dalam kehidupan keagamaan, di sinilah peran moderasi beragama dibutuhkan yang diyakini mampu menghargai keragaman pilihan dan menyelamatkan kita dari ekstremisme, intoleran, dan aksi kekerasan.
Dalam melihat dan menyelesaikan satu persoalan Islam moderat mencoba melakukan pendekatan kompromi dan berada di tengah-tengah, dalam menyikapi sebuah perbedaan, baik perbedaan agama ataupun mazhab, Islam moderat mengedepankan sikap toleransi, saling menghargai, dengan tetap meyakini kebenaran keyakinan masing-masing agama dan mazhab, sehingga semua dapat menerima keputusan dengan kepala dingin, tanpa harus terlibat dalam aksi yang anarkis.
Semangat dan spirit moderasi beragama sejatinya sudah melekat dan sudah diimplementasikan oleh seluruh agama yang ada di Indonesia. konsep moderasi pada setiap agama berbeda-beda, seperti halnya dalam agama Islam terdapat konsep wasathiyah, yang memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tengah tengah), i’tidal (adil), dan tawazun (berimbang).
Dalam tradisi Kristen, moderasi beragama menjadi cara pandang untuk menengahi ekstremitas tafsir ajaran Kristen yang dipahami sebagian umatnya. Salah satu kiat untuk memperkuat moderasi beragama adalah melakukan interaksi semaksimal mungkin antara agama yang satu dengan agama yang lain, antara aliran yang satu dengan aliran yang lain dalam internal umat beragama.
Moderasi beragama juga dapat dilihat dalam perspektif Gereja Katolik. Namun, istilah yang mereka gunakan bukan berupa “moderat” melainkan “terbuka” terhadap “fundamentalis” dan “tradisionalis” (yang menolak pembaruan dalam pengertian Gereja Katolik).
Adapun dalam tradisi Hindu, akar ruh moderasi beragama, atau jalan tengah, dapat ditelusuri hingga ribuan tahun ke belakang.Periode itu terdiri dari gabungan empat Yuga yang dimulai dari Satya Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga, dan Kali Yuga. Dalam setiap Yuga, umat Hindu mengadaptasikan ajaran-ajarannya sebagai bentuk moderasi.
Selanjutnya di dalam agama Buddha, esensi ajaran moderasi beragama dapat dilihat dari Pencerahan Sang Buddha yang berasal dari Sidharta Gautama. Ia mengikrarkan empat prasetya, yaitu berusaha menolong semua makhluk, menolak semua keinginan nafsu keduniawian, mempelajari, menghayati, dan mengamalkan Dharma, serta berusaha mencapai Pencerahan Sempurna.
Moderasi beragama juga mengakar dalam tradisi agama Konghucu. Umat Konghucu yang junzi (beriman dan luhur budi) memandang kehidupan ini dalam kacamata yin yang, karena yin yang adalah filosofi, pemikiran dan spiritualitas seorang umat Khonghucu yang ingin hidup dalam dao. Yin yang adalah Sikap Tengah, bukan sikap ekstrem. Sesuatu yang kurang sama buruknya dengan sesuatu yang berlebihan.
Keragaman suku, ras, agama, perbedaan bahasa dan nilai-nilai hidup yang terjadi di Indonesia sering berbuntut berbagai konflik. Konflik di masyarakat yang bersumber pada kekerasan antar kelompok yang meledak secara sporadis di berbagai kawasan di Indonesia menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang dibangun dalam Negara-Bangsa Indonesia, betapa kentalnya prasangka antara kelompok dan betapa rendahnya saling pengertian antar kelompok.
Dari sini sangat jelas, bahwa moderasi beragama sangat berperan untuk memerangi ekstremisme, intoleran, dan aksi kekerasan di dalam kehidupan berbangsa, beragama, dan bernegara. Selain mampu berdampingan dengan pemeluk agama lain secara harmonis, moderasi beragama juga layak menjadi solusi dan formula untuk mencegah berbagai paham radikal maupun liberal di Indonesia.