Semakin Lunturnya Budaya Mengaji Maghrib Di Musholla

by -31 Views
banner 468x60

Suarapatinews. PATI –  Hati terasa damai, sejuk, dan tenang. Itulah yang kita rasakan saat mendengar lantunan ayat suci Al-Qur’an dibacakan.

banner 336x280

Namun, pesona indah yang dahulu setiap magrib selalu terlantunkan kini mulai pudar terdengar.

Sekarang, jarang dijumpai anak-anak mengaji di mushalla atau masjid salah satu penyebabnya adalah kurangnya arahan dari orang tua. Juga disebabkan perubahan pola hidup, arus globalisasi dan teknologi.

Budaya mengaji maghrib adalah istilah yang sangat dikenal bahkan hingga saat ini masih melekat di hati dan pikiran masyarakat Indonesia.

Bukan hanya di desa saja tapi di kota juga mengenal istilah tersebut.

Begitu selesai sholat maghrib, alunan huruf-huruf hijaiyah dilantunkan bersamaan.

Tak hanya itu, shalawat nabi pun sering dilantunkan untuk mengenang dan menghargai perjuangan Nabi Muhammad dalam memperjuangkan Islam.

Kementerian Agama Republik Indonesia menginginkan tradisi mengaji selepas sholat maghrib dapat kembali dihidupkan di seluruh pelosok negeri.

Rencana ini sudah dicanangkan sejak 2011 dan disebut GEMMAR (Gerakan Masyarakat Maghrib Mengaji).

Masyarakat diajak untuk kembali membuka Al-Qur’an dan menghentikan sejenak kesibukan-kesibukan lain.

Sebab, dengan mengaji selepas sholat maghrib, pengaruh-pengaruh negative dari televisi dan media elektronik lainnya bisa diminimalisasi.

Perlu kerjasama dan dukungan yang kompleks dari orang tua untuk menegakkan gerakan ini.

Anak-anak tidak bisa dilepas begitu saja mereka perlu dampingan dan bimbingan dari orang terdekatnya.

Mengaji Al-Qur’an bersama setelah magrib juga memberikan dampak positif lain yaitu semakin kuatnya hubungan orang tua dan anak di malam hari.

Setelah seharian orang tua bekerja dan tidak mengontrol kegiatan anak.

Mempelajari Al-Qur’an merupakan suatu anjuran dalam agama Islam, sebab Al-Qur’an adalah pedoman hidup manusia.

Dan oleh sebab itu, perlu sekali penerapan kebiasaan mengaji Al-Qur’an sejak dini agar sudah terpupuk rasa cinta Al-Qur’an dalam diri mereka sejak kecil.

Selain itu, kebiasaan yang dilanggengkan sejak kecil sudah terbukti memberi pengaruh yang lebih tajam dan berbekas dari pada yang diberikan pada usia dewasa.

Kemampuan membaca Al-Qur’an dengan benar merupakan salah satu indikator kualitas kehidupan seorang muslim.

Untuk mencapai tujuan tersebut guru harus memahami dan terampil dalam membuat strategi yang sesuai dengan tuntutan dan perkembangan muridnya.

Namun tak hanya anak kecil yang harus mengaji Al-Qur’an, orang tua pun harus mendampinginya. Sebab perintah terbaik adalah ketauladanan.

Anak akan meniru kebiasaan baik dan aktivitas-aktivitas orang tuanya.

Selain ketauladanan, orang tua juga harus tegas kepada anak mematikan televisi dan melarang mereka bermain gadget selepas sholat magrib, kegiatan satu-satunya yang harus dilakukan selepas sholat magrib adalah mengaji Al-Qur’an.

Sekarang, di desaku sendiri sudah jarang mengaji setelah maghrib di masjid maupun musholla.

Hanya ada tiga musholla yang masih mengadakan mengaji selepas magrib dalam pengamatan saya, hal itu terjadi karena beberapa faktor.

Pertama, musholla semakin sepi anak-anak kecil jarang berjamaah di musholla. Kedua, kurangnya arahan dari orang tua. Ketiga, karena perkembangan zaman dan teknologi.

Jadi sudah seharusnya kita bersama-sama mengembalikan budaya lama yang bagus ini.

Sebagaimana qoidah fiqih
‘Al mukhafadhoh alal qodimi ash-shalih wal akhdzu bil jadidi ashlah, mempertahankan budaya lama yang baik, dan mengambil budaya baru yang lebih baik”. (M. Hanif Mahzumi)

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.