Suarapatinews. Pati – Tidak dapat di pungkiri bahwa pada dewasa ini para orang tua sedang resah, ketika sekolah-sekolah harus di laksanakan secara daring (dalam jaringan).

Istilah daring sendiri mulai di gunakan pada masa pendemi covid-19, sudah hampir satu tahun kita hidup dalam keterbatasan untuk malaksankan kegitan belajar seperti sedia kala.
Berbagai jenis solusi di tawarkan oleh pemerintah untuk mempertahannkan kualitas dan kuantitas pembelajaran di Indonesia.
Akan tetapi hal ini tentu sangat beresiko ketika mengingat rawannya virus ini menyebar pada anak-anak, maka dengan sangat terpaksa sekolah daringlah solusi yang di ambil.
Dalam sebuah pepatah menatakan “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”, jika kita seorang muslim itulah yang pernah diucapkan Nabi kita, Muhammad SAW.
Di era modernisasi ini banyak hal yang bisa digunakan untuk mencari ilmu, termasuk ilmu tentang Agama.
Perkembangan teknologi dan modernisasi menciptakan sebuah era yang dapat menghubungkan kita ke semua akses untuk memperoleh informasi. Dengan beberapa fasilitas tentunya.
Sosial media diciptakan untuk bisa menghubungkan semua orang dari seluruh penjuru dunia di lokasi yang berbeda beda dengan latar belakang yang beragam pula.
YouTube, Facebook, Instagram, Twitter adalah salah satu contohnya.
Di platform tersebut kita dapat memperoleh berbagai informasi tentang semua hal. Tetapi tidak semuanya tentang informasi yang positif.
Banyak juga yang memberikan informasi negatif. Hoax, contohnya. Satu kata dimana dalam sebuah teori jurnalistik “Bad news ia good news” atau kabar buruk adalah berita yang bagus.
Sebagai orang tua dan guru kita bisa belajar banyak dari sosial media.
Kita yang dewasa saja membutuhakn penyaringan dalam memahami sebuah berita atau informasi yang di sajikan oleh wadah teknologi tersebut, apalagi peserta didik yang notabennya masih dalam pengawasan orang tua.
YouTube misalnya, banyak hal yang bisa kita cari disana. Termasuk belajar tentang agama Islam.
Disana banyak pilihan, banyak penceramah yang menyampaikan hal hal tentang agama islam.
Banyaknya wadah yang menyampaikan paparannya tentang Islam membuat semakin banyak perbedaan dalam menjelaskan, perbedaan dalam memahami agama Islam.
Hal ini dikarenakan banyaknya “kepala” yang memaparkan dan berfikir sehingga menimbulkan perbedaan pemahaman.
Sehingga banyak yang mencari informasi menjadi bingung karena perbedaan tersebut.
Tentunya ini sangat menyedihkan, terutama bagi anak didik yang baru mendalami ajaran belajar agama Islam dan ingin tahu lebih dalam tentang agama Islam.
Fakta menunjukkan bahwa paham radikalisme menyebar dan disebarkan luas lewat sosial media.
Tidak peduli seberapa pintar mereka dilingkungan akademik, ketika seseorang tertarik dan yakin oleh karena penyampaian yang menarik walaupun itu salah, maka mereka akan setuju saja dengan resiko terjerumus dalam radikalisme tersebut.
Alangkah bijaknya orang tua maupun guru harus membangun pondasi dasar, pondasi awal tentang aqidah agama Islam sebelum mempelajari lebih jauh tentang agama islam lewat sosial media.
Mendampingi anak anak dan mengantarkan mereka pada pilihan pendidikan agama pada tempat yang tepat dan benar adalah langkah awal untuk mencegah resiko radikalisme ini.
Tentunya ini untuk agama Islam sendiri, untuk umat Islam sendiri. Berbagi indahnya agama ini di kehidupan nyata kepada semua.
Termasuk kepada mereka yang beragama lain. Kita orang Islam, sama sama Islam. Kita memang kadang berbeda walaupun sama sama Islam.
Tapi paling tidak kita bisa terlepas dari trademark yang bernama “radikalisme” dalam pendidikan anak usia madarah ibtidaiyah. (Anis Fadlilah)